INFO BEASISWA

Wednesday, January 30, 2008

Sebelum Kamu mengeluh

“ Sebelum kamu mengeluh “
Hari ini sebelum kamu mengatakan kata-kata yang tidak baik, Pikirkan tentang seseorang yang tidak dapat berbicara sama sekali
Sebelum kamu mengeluh tentang rasa dari makananmu, Pikirkan tentang seseorang yang tidak punya apapun untuk dimakan.
Sebelum anda mengeluh tidak punya apa-apa, Pikirkan tentang seseorang yang meminta-minta dijalanan.
Sebelum kamu mengeluh bahwa kamu buruk,Pikirkan tentang seseorang yang berada pada tingkat yang terburuk didalam hidupnya.
Sebelum kamu mengeluh tentang suami atau istri anda,Pikirkan tentang seseorang yang memohon kepada Tuhan untuk diberikan teman hidup
Hari ini sebelum kamu mengeluh tentang hidupmu,Pikirkan tentang seseorang yang meninggal terlalu cepat
Sebelum kamu mengeluh tentang anak-anakmu,Pikirkan tentang seseorang yang sangat ingin mempunyai anak tetapi dirinya mandul
Sebelum kamu mengeluh tentang rumahmu yang kotor karena pembantumu tidak mengerjakan tugasnya,Pikirkan tentang orang-orang yang tinggal dijalanan
Sebelum kamu mengeluh tentang jauhnya kamu telah menyetir,Pikirkan tentang seseorang yang menempuh jarak yang sama dengan berjalan
Dan disaat kamu lelah dan mengeluh tentang pekerjaanmu,Pikirkan tentang pengangguran,orang-orang cacat yang berharap mereka mempunyai pekerjaan seperti anda.
Sebelum kamu menunjukkan jari dan menyalahkan orang lain,Ingatlah bahwa tidak ada seorangpun yang tidak berdosa.Dan ketika kamu sedang bersedih dan hidupmu dalam kesusahan,Tersenyum dan berterima kasihlah kepada Tuhan bahwakamu masih hidup !

Thursday, September 20, 2007

Kisah Anak Jalana

Bapak-bapak, ibu-ibu, kakak-kakak semua, saya mohon maaf telah
lancang mengedarkan amplop. Karena saya terpaksa mengamen untuk
membayar uang sekolah saya....

Demikian penggal kalimat yang tertulis di atas kertas fotokopi yang
dilekatkan pada amplop kecil yang mulai kusam. Diawali dan diakhiri
dengan kalimat salam yang ditulis rapi dalam huruf Arab, mengesankan
yang menulis cukup akrab bergaul dengan abjad dari timur tengah itu.
Ia menyodorkan ke segenap penumpang di bus dengan takut-takut.
Wajahnya yang sawo matang terbakar matahari, pias oleh rasa khawatir.
Khawatir si penerima amplop tidak berkenan pada tindakannya.

Setelah semua amplop habis tersebar, ia berdiri mengambil tempat dekat
pintu. Tangannya yang kecil dan kotor oleh debu mulai
mengoyang-goyangkan botol plastik berisi segenggam beras. Botol bekas
susu yang sangat mungkin isinya belum tentu dalam beberapa bulan
terakhir pernah ia teguk. Crek... crek..crek... bunyi beras beradu
dengan dinding botol mulai terdengar. Bersaing dengan derum knalpot
dan aneka klakson.

Dengan begitu saja suara kanaknya terdengar melantunkan bait-bait
syair. Sebuah lagu tentang penyesalan seorang hamba yang lupa
mengingat Tuhannya karena sibuk bekerja. Sebuah lagu yang kerap
dinyanyikan oleh kawan-kawannya yang lebih dewasa. Dengan
penggal-penggal nafas yang tersengal ia berusaha bernyanyi. Sedang
mata saya tertambat lekat pada tubuh kurusnya yang membelakangi tempat
duduk saya.

Ia memakai baju batik hijau. Sepertinya seragam sekolah karena ada
logo sebuah departemen tergambar disitu. Celananya, sebuah celana
berkolor karet yang telah memudar coraknya yang tampak sedikit melorot
dari pinggang yang sangat ramping. Kakinya beralas sendal jepit.

Belum habis benak saya melambungkan pikiran, ia sudah berhenti
bernyanyi. Sepertinya tak semua bait ia lantunkan. Lalu ia berkeliling
mengambil amplop yang tadi disebarkan. Satu-satu. Tetap dengan wajah
pias berparas ragu. Ketika bus berhenti karena terhalang mobil, kaki
kecilnya melompat turun, lalu melangkah ke seberang. Punggung bersalut
kain batik itu pun hilang di balik lalu lalang kendaraan.

Benak saya kembali melambungkan pikiran. Sebenarnya ini adalah
kejadian kesekian yang saya temui ketika melewati ruas jalan ini. Saya
juga tahu, di emper-emper ruko itu ia berkumpul bersama
teman-temannya, menanti kendaraan umum tiba. Sementara di pojok
perempatan di balik gedung penegak keadilan berlambang pedang dan
timbangan, ibu-ibu sambil mengasuh balitanya menanti sang anak turun
dari metro mini.

Sebenarnya fragmen ini sudah menjadi kenyataan sehari-hari yang telah
sangat biasa terjadi. Dan seakan menjadi keniscayaan dari kepingan
kecil puzzle besar bertajuk kehidupan ibu kota. Tapi kadang benak tak
cukup kuat untuk bergeming dari adegan yang dicitra mata. Bahwa sebuah
lakon besar sedang terjadi. Dan anak kecil yang bernyanyi telah
menjalankan peran yang disandangnya. Saya juga, penumpang yang lain
pun sama. Supir dan kondektur juga melakonkan bagiannya.

Lalu, apakah semua ini dengan serta merta terjadi? Dan apakah setelah
selesai berlalu begitu saja? Pindah ke lakon lain yang telah siap
menanti. Siapa yang membagi peran dan siapa yang menata adegan? Siapa
yang memerankan lakon utama dan siapa yang beringsut menjadi figuran?

Banyak tanya tak berjawab. Sedang kehidupan dengan bilangan semesta
kecilnya yang tak terpermanai, terus berlangsung. Terus bergulir.
Seperti air menggulir di atas daun talas. Kapan bergulirnya dan kapan
jatuhnya, kita tiada tahu.

... dan setiap yang bernyawa akan diminta tanggungjawabnya...

Pensil

Cerita ini terjadi di masa perlombaan teknologi luar angkasa, antara
Amerika Serikat melawan Uni Soviet.
NASA, menemukan bahwa pena yang bekerja dengan gravitasi itu tidak
dapat bekerja di luar angkasa, merancang pena jenis baru yang
memiliki tekanan internal. Tekanan tinta dikendalikan oleh genggaman
pemakai. Untuk sistem sensor dan sebagainya, dihabiskan dana mencapai
satu juta dollar. Namun demikian, pena ini bekerja dengan baik sekali.

Pihak Uni Soviet, mengalami masalah yang sama, memutuskan untuk
menggunakan pensil.

Jangan pernah berpikir rumit.

Wednesday, September 19, 2007

Hukuman Mati

Banyak pengetahuan memang baik, lebih baik lagi banyak pemikiran...


Zaman pemberontakan. Seorang pendeta, ahli hukum, dan engineer
ditangkap, dan dijatuhi hukuman mati dengan guillotine.

Tibalah saat pelaksanaan hukuman mati. Setelah diundi, pendeta harus
mati lebih dulu, disusul ahli hukum, dan terakhir si engineer.

Pendeta meletakkan leher di balok guillotine. Tuas dilepas. Tapi
pisau bergeming. Si pendeta berdiri dan mengatakan ia telah
diselamatkan oleh Tuhan. Ia pun dibiarkan pergi.

Giliran si ahli hukum dipaksa meletakkan leher di balok. Tuas
dilepas. Tapi pisau maih terdiam saja. Si ahli hukum berdiri dan
mengatakan bahwa seorang tersangka hanya boleh dihukum satu kali
untuk sebuah kesalahan. Maka ia pun boleh pergi.

Terakhir, si engineer meletakkan kepalanya di leher balok. Ia
mengintip ke arah pemicu katrol. Lalu ia berkata, "Tunggu. Sekarang
aku tahu kenapa alatnya macet ...."

Tanda Silang

Charles Proteus Steinmetz adalah engineer elektrik handal yang
terkenal, yang dulu bekerja di General Electric. Pernah meja-meja
kerja di GE diberi tanda 'No Smoking'. Steinmetz segera menambahi
tulisan di bawahnya, sehingga terbaca 'No Smoking, No Steinmetz',
lalu ia pulang. Tak lama kebijakan itu dicabut.
Setelah Steinmetz pensiun, pernah GE mengalami kerusakan mesin yang
parah. Karena tak ada satu engineer pun yang dapat menangani,
akhirnya Steinmetz dipanggil kembali sebagai konsultan.

Steinmetz berkeliling mesin-mesin, mengukur di sana-sini, dan
mencatat di sebuah buku kecil. Beberapa saat kemudian, ia mengambil
kapur tulis, dan memberi tanda silang 'X' besar di sebuah modul. Para
engineer melepas modul itu, dan segera menemukan kerusakan di bagian
itu. Setelah bagian itu diganti, mesin berfungsi normal.

Steinmetz menagih GE sebesar $10000. Tapi eksekutif GE berkeberatan.
Mereka bilang, "Masa hanya untuk sebuah tanda silang, kita harus
bayar sedemikian besar." Maka mereka meminta Steinmetz untuk
memberikan rincian tagihan.

Steinmetz pun membuat rincian sebagai berikut:


Membuat tanda silang $ 1.00
Menentukan posisi tanda silang $ 9999.00
Total $ 10000.00

Cara Menangkap Kera

Konon, ada seekor kera yang sangat suka makan buah ceri.
Pada suatu hari ia melihat ceri yang menerbitkan liur. Iapun
turun dari pohon untuk memetiknya. Tetapi ternyata buah itu
berada dalam sebuah botol gelas yang sangat bening. Setelah
beberapa kali dicoba, kera itu mengetahui bahwa ia bisa
memasukkan tangannya, ia mengepalkannya untuk memegang buah
ceri itu. Namun, kemudian disadarinya bahwa tangannya yang
terkepal itu tidak bisa ditariknya ke luar karena ternyata
lebih besar dari leher botol.

Itu semua memang disengaja; buah ceri tersebut dipasang oleh
seorang pemburu kera yang mengetahui cara berpikir kera.

Si Pemburu mendengar rengekan kera, datang mendekat dan
kerapun berusaha melarikan diri. Tetapi karena, menurut
pikiran kera, tangannya lekat ke botol iapun tidak bisa lari
kencang.

Namun, begitu pikirnya, ia masih menggenggam buah ceri itu.
Si Pemburupun menangkapnya. Sesaat kemudian siku kera itupun
dipukulnya sehingga genggamannya mengendor.

Kera itu bebas dari botol, tetapi ia tertangkap. Si Pemburu
telah mempergunakan ceri dan botol. dan kini kedua benda
itupun masih menjadi miliknya.


Versi ini diceritakan oleh Khwaja Ali Ramitani, yang
meninggal tahun 1306.

Thursday, September 13, 2007

Keledai

Ayah, Anak dan Keledai

Suatu ketika seorang laki-laki beserta anaknya membawa seekor keledai
ke pasar. Di tengah jalan, beberapa orang melihat mereka dan
menyengir, "Lihatlah orang-orang dungu itu. Mengapa mereka tidak naik
ke atas keledai itu?"

Laki-laki itu mendengar perkataan tersebut. Ia lalu meminta anaknya
naik ke atas keledai. Seorang perempuan tua melihat mereka, "Sudah
terbalik dunia ini! Sungguh anak tak tahu diri! Ia tenang-tenang di
atas keledai sedangkan ayahnya yang tua dibiarkan berjalan." Jadi kali
ini, anak itu turun dari punggung keledai dan ayahnya yang naik.

Beberapa saat kemudian mereka berpapasan dengan seorang gadis muda.
"Mengapa kalian berdua tidak menaiki keledai itu bersama-sama?" Mereka
menuruti nasehat gadis muda itu.

Tak lama kemudian sekelompok orang lewat. "Binatang malang.... ia
menanggung beban dua orang gemuk tak berguna. Kadang-kadang orang
memang bisa sangat kejam!" Sampai di sini, ayah dan anak itu sudah
muak. Mereka memutuskan untuk memanggul keledai itu. Melihat kejadian
itu, orang-orang tertawa terpingkal- pingkal, "Lihat! Manusia keledai
memanggul keledai!" sorak mereka.

Jika Anda berusaha menyenangkan semua orang, Anda tak akan menyenangkan siapa
pun.