INFO BEASISWA

Thursday, September 6, 2007

Ibu

Tanganmu, Ibu...
Ibumu adalah
Ibunda darah dagingmu
Tundukkan mukamu
Bungkukkan badanmu
Raih punggung tangan beliau
Ciumlah dalam-dalam
Hiruplah wewangian cintanya
Dan rasukkan ke dalam kalbumu
Agar menjadi azimah bagi rizki dan kebahagiaan
(Emha Ainun Najib)


Siang sudah sampai pada pertengahan. Dan Ibu begitu anggun menjumpai
saya di depan pintu. Gegas saya rengkuh punggung tangannya, menciumnya lama.
Ternyata rindu padanya tidak bertepuk sebelah tangan. Ibu juga mendaratkan
kecupan sayang di ubun-ubun ini, lama. "Alhamdulillah, kamu sudah pulang"
itu ucapannya kemudian. Begitu masuk ke dalam rumah, saya mendapati
ruangan yang sungguh bersih. Sudah lama tidak pulang.

Ba'da Ashar,
"Nak, tolong angkatin panci, airnya sudah mendidih". Gegas saya angkat
pancinya dan dahipun berkerut, panci kecil itu diisi setengahnya. "Ah
mungkin hanya untuk membuat beberapa gelas teh saja" pikir saya
"Eh, tolongin bawa ember ini ke depan, Ibu mau menyiram". Sebuah ember
putih ukuran sedang telah terisi air, juga setengahnya. Saya memindahkannya
ke halaman depan dengan mudahnya. Saya pandangi bunga-bunga peliharaan
Ibu.Subur dan terawat. Dari dulu Ibu suka sekali menanam bunga.
"Nak, Ibu baru saja mencuci sarung, peras dulu, abis itu jemur di pagar
yah"pinta Ibu.
"Eh, bantuin Ibu potongin daging ayam" sekilas saya memandang Ibu yang
tengah bersusah payah memasak. Tumben Ibu begitu banyak meminta
bantuan,biasanya beliau anteng dan cekatan dalam segala hal.

Sesosok wanita muda, sedang menyapu ketika saya masuk rumah sepulang
dari ziarah. "Neng.." itu sapanya, kepalanya mengangguk ke arah saya. "Bu,
siapaitu...?" tanya saya. "Oh itu yang bantu-bantu Ibu sekarang" pendeknya.
Dan saya semakin termangu, dari dulu Ibu paling tidak suka mengeluarkan
uang untuk mengupah orang lain dalam pekerjaan rumah tangga. Pantesan rumah
terlihat lebih bersih dari biasanya.

Dan, semua pertanyaan itu seakan terjawab ketika saya menemaninya
tilawah selepas maghrib. Tangan Ibu gemetar memegang penunjuk yang
terbuat dari kertas koran yang dipilin kecil, menelusuri tiap huruf
al-qur'an. Dan mata ini memandang lekat pada jemarinya. Keriput,
urat-uratnya menonjol jelas, bukan itu yang membuat saya tertegun.
Tangan itu terus bergetar. Saya berpaling, menyembunyikan bening
kristal yang tiba-tiba muncul di kelopak mata. Mungkinkah segala
bantuan yang ia minta sejak saya pulang, karena tangannya tak lagi
paripurna melakukan banyak hal? "Dingin" bisik saya, sambil beringsut
membenamkan kepala di pangkuannya.

Ibu masih terus tilawah, sedang tangan kirinya membelai kepala saya.
Saya memeluknya, merengkuh banyak kehangatan yang dilimpahkannya tak
berhingga. Adzan isya berkumandang, Ibu berdiri di samping saya,
bersiap menjadi imam. Tak lama suaranya memenuhi udara mushala kecil
rumah. Seperti biasa surat cinta yang dibacanya selalu itu, Ad-Dhuha
dan At-Thariq. Usai shalat, saya menunggunya membaca wirid, dan
seperti tadi saya pandangi lagi tangannya yang terus bergetar. "Duh
Allah, sayangi Mamah" spontan saya memohon. "Neng..." suara ibu
membuyarkan lamunan itu, kini tangannya terangsur di depan saya,
kebiasaan saat selesai shalat, saya rengkuh tangan berkah itu dan
menciumnya. "Tangan ibu kenapa?" tanya saya pelan. Sebelum menjawab,
ibu tersenyum maniss sekali."Penyakit orang tua" "Sekarang tangan ibu
hanya mampu melakukan yang ringan-ringan saja, irit tenaga" tambahnya.

Udara semakin dingin. Bintang-bintang di langit kian gemerlap
berlatarkan langit biru tak berpenyangga. Saya memandangnya dari teras
depan rumah. Ada bulan yang sudah memerak sejak tadi. Malam perlahan
beranjak jauh. Dalam hening itu, saya membayangkan senyuman manis Ibu
sehabis shalat isya tadi. Apa maksudnya? Dan mengapakah, saya seperti
melayang. Telah banyak hal yang dipersembahkan tangannya untuk saya.
Tangan yang tak pernah mencubit, sejengkel apapun perasaannya
menghadapi kenakalan saya. Tangan yang selalu berangsur ke kepala dan
membetulkan letak jilbab ketika saya tergesa pergi sekolah. Tangan
yang selalu dan selalu mengelus lembut ketika saya mencari kekuatan di
pangkuannya saat hati saya bergemuruh. Tangan yang menengadah ketika
memohon kepada Allah untuk setiap ujian yang saya jalani. Tangan yang
pernah membuat bunga dari pita-pita berwarna dan menyimpannya di meja
belajar saya ketika saya masih kecil yang katanya biar saya lebih
semangat belajar. Sewaktu saya baru memasuki bangku kuliah dan harus
tinggal jauh darinya, suratnya selalu saja datang. Tulisan tangannya
kadang membuat saya mengerutkan dahi, pasalnya beberapa huruf terlihat
sama, huruf n dan m nya mirip sekali. Ibu paling suka menulis surat
dengan tulisan sambung. Dalam suratnya, selalu Ibu menyisipkan puisi
yang diciptakannya sendiri.

Ada sebuah puisinya yang saya sukai. Ibu memang suka menyanjung : Kau
adalah gemerlap bintang di langit malam Bukan!, kau lebih dari itu Kau
adalah pendar rembulan di angkasa sana, Bukan!, kau lebih dari itu,
Kau adalah benderang matahari di tiap waktu, Bukan!, kau lebih dari
itu Kau adalah Sinopsis semesta Itu saja. Tangan ibunda adalah
perpanjangan tangan Tuhan. Itu yang saya baca dari sebuah buku. Jika
saya renungkan, memang demikian. Tangan seorang ibunda adalah
perwujudan banyak hal : Kasih sayang, kesabaran, cinta, ketulusan....

Pernahkah ia pamrih setelah tangannya menyajikan masakan di meja makan
untuk sarapan? Pernahkan Ia meminta upah dari tengadah jemari ketika
mendoakan anaknya agar diberi Allah banyak kemudahan dalam menapaki
hidup? Pernahkah Ia menagih uang atas jerih payah tangannya
membereskan tempat tidur kita? Pernahkah ia mengungkap balasan atas
semua persembahan tangannya?..Pernahkah..? Ketika akan meninggalkannya
untuk kembali, saya masih merajuknya "Bu, ikutlah ke jakarta, biar
dekat dengan anak-anak". "Ah, Allah lebih perkasa di banding kalian,
Dia menjaga Ibu dengan baik di sini. Kamu yang seharusnya sering
datang, Ibu akan lebih senang" Jawabannya ringan. Tak ada air mata
seperti saat-saat dulu melepas saya pergi. Ibu tampak lebih pasrah,
menyerahkan semua kepada kehendak Allah. Sebelum pergi, saya merengkuh
kembali punggung tangannya, selagi sempat , saya reguk seluruh
keikhlasan yang pernah dipersembahkannya untuk saya.

Selagi sisa waktu yang saya punya masih ada, tangannya saya ciumi
sepenuh takzim. Saya takut, sungguh takut, tak dapati lagi kesempatan
meraih tangannya, meletakannya di kening.

***
Bagaimana dengan kalian para
sahabat? Engkau sangat tahu, lewat tangannya kau ada, duduk di depan
komputer dan membaca tulisan saya ini. Engkau sangat tahu, lewat
tangannya kau bisa menjadi seseorang yang menjadi kebanggaan. Engkau
sangat tahu, dibanding siapapun juga. Maka, usah kau tunggu hingga
tangannya gemetar, untuk mengajaknya bahagia. Inilah saatnya, inilah
masanya...

No comments: