INFO BEASISWA

Thursday, September 20, 2007

Kisah Anak Jalana

Bapak-bapak, ibu-ibu, kakak-kakak semua, saya mohon maaf telah
lancang mengedarkan amplop. Karena saya terpaksa mengamen untuk
membayar uang sekolah saya....

Demikian penggal kalimat yang tertulis di atas kertas fotokopi yang
dilekatkan pada amplop kecil yang mulai kusam. Diawali dan diakhiri
dengan kalimat salam yang ditulis rapi dalam huruf Arab, mengesankan
yang menulis cukup akrab bergaul dengan abjad dari timur tengah itu.
Ia menyodorkan ke segenap penumpang di bus dengan takut-takut.
Wajahnya yang sawo matang terbakar matahari, pias oleh rasa khawatir.
Khawatir si penerima amplop tidak berkenan pada tindakannya.

Setelah semua amplop habis tersebar, ia berdiri mengambil tempat dekat
pintu. Tangannya yang kecil dan kotor oleh debu mulai
mengoyang-goyangkan botol plastik berisi segenggam beras. Botol bekas
susu yang sangat mungkin isinya belum tentu dalam beberapa bulan
terakhir pernah ia teguk. Crek... crek..crek... bunyi beras beradu
dengan dinding botol mulai terdengar. Bersaing dengan derum knalpot
dan aneka klakson.

Dengan begitu saja suara kanaknya terdengar melantunkan bait-bait
syair. Sebuah lagu tentang penyesalan seorang hamba yang lupa
mengingat Tuhannya karena sibuk bekerja. Sebuah lagu yang kerap
dinyanyikan oleh kawan-kawannya yang lebih dewasa. Dengan
penggal-penggal nafas yang tersengal ia berusaha bernyanyi. Sedang
mata saya tertambat lekat pada tubuh kurusnya yang membelakangi tempat
duduk saya.

Ia memakai baju batik hijau. Sepertinya seragam sekolah karena ada
logo sebuah departemen tergambar disitu. Celananya, sebuah celana
berkolor karet yang telah memudar coraknya yang tampak sedikit melorot
dari pinggang yang sangat ramping. Kakinya beralas sendal jepit.

Belum habis benak saya melambungkan pikiran, ia sudah berhenti
bernyanyi. Sepertinya tak semua bait ia lantunkan. Lalu ia berkeliling
mengambil amplop yang tadi disebarkan. Satu-satu. Tetap dengan wajah
pias berparas ragu. Ketika bus berhenti karena terhalang mobil, kaki
kecilnya melompat turun, lalu melangkah ke seberang. Punggung bersalut
kain batik itu pun hilang di balik lalu lalang kendaraan.

Benak saya kembali melambungkan pikiran. Sebenarnya ini adalah
kejadian kesekian yang saya temui ketika melewati ruas jalan ini. Saya
juga tahu, di emper-emper ruko itu ia berkumpul bersama
teman-temannya, menanti kendaraan umum tiba. Sementara di pojok
perempatan di balik gedung penegak keadilan berlambang pedang dan
timbangan, ibu-ibu sambil mengasuh balitanya menanti sang anak turun
dari metro mini.

Sebenarnya fragmen ini sudah menjadi kenyataan sehari-hari yang telah
sangat biasa terjadi. Dan seakan menjadi keniscayaan dari kepingan
kecil puzzle besar bertajuk kehidupan ibu kota. Tapi kadang benak tak
cukup kuat untuk bergeming dari adegan yang dicitra mata. Bahwa sebuah
lakon besar sedang terjadi. Dan anak kecil yang bernyanyi telah
menjalankan peran yang disandangnya. Saya juga, penumpang yang lain
pun sama. Supir dan kondektur juga melakonkan bagiannya.

Lalu, apakah semua ini dengan serta merta terjadi? Dan apakah setelah
selesai berlalu begitu saja? Pindah ke lakon lain yang telah siap
menanti. Siapa yang membagi peran dan siapa yang menata adegan? Siapa
yang memerankan lakon utama dan siapa yang beringsut menjadi figuran?

Banyak tanya tak berjawab. Sedang kehidupan dengan bilangan semesta
kecilnya yang tak terpermanai, terus berlangsung. Terus bergulir.
Seperti air menggulir di atas daun talas. Kapan bergulirnya dan kapan
jatuhnya, kita tiada tahu.

... dan setiap yang bernyawa akan diminta tanggungjawabnya...

No comments: