INFO BEASISWA

Wednesday, August 15, 2007

Semangat

Semangat

Wanda baru satu bulan bekerja di bidang pemasaran sebuah perusahaan
kosmetik. Bulan pertama ini ia bekerja dengan penuh semangat. Ia banyak
memberikan masukan baru, ide-ide baru yang, menurut dia, akan membantu
penjualan.

Ia datang paling pagi karena rumahnya jauh dari tempat kerja. Ia sangat
bangga dengan pekerjaannya. Bila orang lain menanyakan di mana ia bekerja,
ia menjawabnya dengan penuh semangat dan kebanggaan.

Anehnya, rekan-rekan kerjanya, Andi dan Tuti, yang sudah bekerja lebih lama
menganggap remeh semangat Wanda ini. Mereka berkata: "Maklum, dia masih
baru, sih." Mereka sudah bekerja dua belas tahun lebih dan ternyata
semangat mereka sudah hampir hilang.

Mereka tidak lagi bekerja dengan menggebu-gebu. Tuti merasa ia tidak perlu
terlalu bersemangat karena toh gajinya tidak akan menjadi dua kali lipat
kalau ia rajin. Untuk apa bekerja mati-matian? Begitu pikirnya.

Lain lagi dengan Linda, ia sering mengajak Wanda berdiskusi. Wanda belajar
banyak dari Linda, demikian juga sebaliknya. Mereka sering berlomba sendiri
untuk menjual lebih banyak, padahal Linda sudah sebelas tahun bekerja. Bisa
dibilang semangat mereka seimbang. Pada saat yang satu agak lemah, maka
yang lain membantunya.

Memang ada orang-orang seperti Andi dan Tuti yang berpikir untuk apa
bekerja keras kalau gajinya sama saja. Mau malas, mau rajin, tidak ada
bedanya.Untuk apa bekerja rajin-rajin, begitu kata mereka.

Mereka tidak lagi memiliki tujuan dalam bekerja. Mereka melihat pekerjaan
sebagai beban, bukan lagi suatu tantangan atau kegiatan yang menyenangkan.
Bagi orang yang menganggap pekerjaan sebagai beban, biasanya ia akan merasa
cepat lelah.

Pada waktu ia bangun tidur, ia sudah merasa lelah untuk berangkat bekerja.
Begitu sampai di kantor ia otomatis ingin beristirahat karena merasa lelah.
Maka, ia lalu baca koran, sarapan, atau melanjutkan tidur. Kemudian apa
lagi? Mungkin ia akan menghabiskan waktu untuk menunggu jam pulang kantor
yang terasa tak kunjung tiba.

Mereka menganggap bahwa perusahaan diuntungkan dan mereka dirugikan kalau
mereka bekerja lebih rajin. Mereka lupa bahwa mereka sendirilah yang rugi
kalau mereka tidak bersemangat.

Gerakan fisik pasti berkurang, belum lagi kemampuan otak yang dihambat
karena dipaksa untuk pasif. Lagi pula, kinerja yang kurang baik bisa
menyebabkan tertutupnya kemungkinan promosi ke jabatan yang lebih tinggi.

Ingat kisah Udin yang tadinya bekerja sebagai pembersih lift di sebuah
gedung perkantoran, kemudian ada orang yang menawarkan pekerjaan sebagai
office boy dengan gaji lebih tinggi. Mengapa ia yang ditawari pekerjaan?
Mengapa bukan temannya yang lain?

Karena Udin tidak menganggap pekerjaannya sebagai beban. Pembersih lift
yang lain tidak mempedulikan para pengguna lift, tapi Udin lain. Ia selalu
membantu menekan tombol untuk membuka pintu lift, atau mengulurkan
tangannya untuk menahan pintu lift tertutup pada saat ada orang yang ke
luar atau masuk lift.

Seandainya ia dulu bekerja malas-malasan, atau kurang bersemangat karena
gaji kecil, pasti dia akan kelihatan loyo dan tidak akan terpilih untuk
ditawari pekerjaan lain.

Lagi pula benarkah anggapan bahwa semangat akan menurun bila sudah lama
bekerja? Justru sebaliknya, Linda membuktikan bahwa ia tetap bersemangat
tinggi meskipun ia sudah lama bekerja. Ia menyenangi pekerjaannya. Ia
menikmati hari-hari kerjanya.

Kesenangannya bekerja terpancar di wajahnya yang selalu bersemangat.
Tingkah lakunya sigap, selalu bersedia membantu orang lain dan tidak pernah
melakukan korupsi waktu selama di tempat kerja. Sama dengan Wanda, ia tidak
pernah terlambat datang ke kantor.

Andi dan Tuti lupa bahwa keadaan hati yang loyo, sikap malas, rasa tidak
puas dan hal-hal lain yang mereka rasakan, akan terpancar di wajah dan
tingkah laku mereka sehari-hari.

Kalau sudah begitu, tentu atasan dapat melihat dan merasakannya. Akhirnya
siapa yang rugi? Tentu diri sendiri bukan? Nah, kalau semangat memang sudah
berkurang, apa yang harus kita lakukan? Mudah sekali.

Pertama, cari kesenangan baru dalam pekerjaan. Misalnya Tuti malas mengetik
proposal, nah ia bisa mulai dengan menetapkan target untuk membuat proposal
lebih cepat.

Atau ia bisa mengubah proposalnya menjadi lebih menarik, lebih jelas, atau
sekadar mencari-cari jenis huruf yang lebih sesuai. Ia akan menemukan
keasyikan baru sehingga mendongkrak semangatnya.

Kedua, anggaplah hambatan sebagai tantangan yang harus dikalahkan. Hambatan
dan tantangan adalah hal yang sama, yang berbeda hanya sudut pandangnya.
Bila dianggap sebagai hambatan, maka langkah kita menjadi lebih berat.

Seperti orang berlomba lari, bila ia melihat batu-batuan sebagai hambatan,
maka ia akan merasa berat. Tapi bila ia melihatnya sebagai tantangan, maka
langkahnya malah lebih panjang, lompatannya akan lebih tinggi karena ia
berfokus pada cara terbaik untuk mengatasinya. Di samping itu ia akan
menemukan kesenangan baru.

Love your job! Enjoy!

No comments: