INFO BEASISWA

Friday, July 27, 2007

Bola Untuk Anak

Bola untuk Anak25 tahun yang lalu,Inikah nasib? Terlahir sebagai menantu bukan pilihan.Tapi aku dan Kania harus tetap menikah. Itu sebabnyakami ada di Kantor Catatan Sipil. Wali kami pun walihakim. Dalam tiga puluh menit, prosesi pernikahan kamiselesai. Tanpa sungkem dan tabur melati atau hidanganistimewa dan salam sejahtera dari kerabat. Tapi akumasih sangat bersyukur karena Lukman dan Naila mauhadir menjadi saksi. Umurku sudah menginjak seperempatabad dan Kania di bawahku. Cita-cita kami sederhana,ingin hidup bahagia.22 tahun yang lalu,Pekerjaanku tidak begitu elit, tapi cukup untuk biayamakan keluargaku. Ya, keluargaku. Karena sekarang akusudah punya momongan. Seorang putri, kunamai iaKamila. Aku berharap ia bisa menjadi perempuansempurna, maksudku kaya akan budi baik hingga diatampak sempurna. Kulitnya masih merah, mungkin karenaia baru berumur seminggu. Sayang, dia tak dijengukkakek-neneknya dan aku merasa prihatin. Aku harus bisaterima nasib kembali, orangtuaku dan orangtua Kaniatak mau menerima kami. Ya sudahlah. Aku tak berhakuntuk memaksa dan aku tidak membenci mereka. Aku hanyayakin, suatu saat nanti, mereka pasti akan berubah.19 tahun yang lalu,Kamilaku gesit dan lincah. Dia sekarang sedang senangberlari-lari, melompat-lompat atau meloncat dari mejake kursi lalu dari kursi ke lantai kemudian berteriak"Horeee, Iya bisa terbang". Begitulah dia memanggilnamanya sendiri, Iya. Kembang senyumnya selalu merekahseperti mawar di pot halaman rumah. Dan Kania takjarang berteriak, "Iya sayaaang," jika sudah terdengarsuara "Prang". Itu artinya, ada yang pecah, bisa vasbunga, gelas, piring, atau meja kaca. Terakhir cerminrias ibunya yang pecah. Waktu dia melompat dari tempattidur ke lantai, boneka kayu yang dipegangnyaterpental. Dan dia cuma bilang "Kenapa semua kaca dirumah ini selalu pecah, Ma?"18 tahun yang lalu,Hari ini Kamila ulang tahun. Aku sengaja pulang lebihawal dari pekerjaanku agar bisa membeli hadiah dulu.Kemarin lalu dia merengek minta dibelikan bola. Kaniatak membelikannya karena tak mau anaknya jadi tomboyapalagi jadi pemain bola seperti yang seringdiucapkannya. "Nanti kalau sudah besar, Iya mau jadipemain bola!" tapi aku tidak suka dia menangis terusminta bola, makanya kubelikan ia sebuah bola. Palingtidak aku bisa punya lawan main setiap sabtu sore. Danseperti yang sudah kuduga, dia bersorak kegiranganwaktu kutunjukkan bola itu. "Horee, Iya jadi pemainbola."17 Tahun yang laluIya, Iya. Bapak kan sudah bilang jangan main bola dijalan. Mainnya di rumah aja. Coba kalau ia nurut,Bapak kan tidak akan seperti ini. Aku tidak tahubagaimana Kania bisa tidak tahu Iya menyembunyikanbola di tas sekolahnya. Yang aku tahu, hari itu harisabtu dan aku akan menjemputnyanya dari sekolah.Kulihat anakku sedang asyik menendang bola sepanjangjalan pulang dari sekolah dan ia semakin ketengahjalan. Aku berlari menghampirinya, rasa khawatirkumengalahkan kehati-hatianku dan "Iyaaaa". Sebuah trukpasir telak menghantam tubuhku, lindasan ban besarnyaberhenti di atas dua kakiku. Waktu aku sadar, duakakiku sudah diamputasi. Ya Tuhan, bagaimana ini.Bayang-bayang kelam menyelimuti pikiranku, tanpa kaki,bagaimana aku bekerja sementara pekerjaanku mengantarbarang dari perusahaan ke rumah konsumen. KulihatKania menangis sedih, bibir cuma berkata "Coba kalaukamu tak belikan ia bola!"15 tahun yang lalu,Perekonomianku morat marit setelah kecelakaan. Uangpesangon habis untuk ke rumah sakit dan uang tabunganmenguap jadi asap dapur. Kania mulai banyak mengeluhdan Iya mulai banyak dibentak. Aku hanya bisamembelainya. Dan bilang kalau Mamanya sedang sakitkepala makanya cepat marah. Perabotan rumah yang bisadijual sudah habis. Dan aku tak bisa berkata apa-apawaktu Kania hendak mencari ke luar negeri. Dia inginpenghasilan yang lebih besar untuk mencukupi kebutuhanKamila. Diizinkan atau tidak diizinkan dia akan tetappergi. Begitu katanya. Dan akhirnya dia memang pergike Malaysia.13 tahun yang lalu,Setahun sejak kepergian Kania, keuangan rumahkusedikit membaik tapi itu hanya setahun. Setelah itutak terdengar kabar lagi. Aku harus mempersiapkan uanguntuk Kamila masuk SMP. Anakku memang pintar dialoncat satu tahun di SD-nya. Dengan segalakeprihatinan kupaksakan agar Kamila bisa melanjutkansekolah. aku bekerja serabutan, mengerjakan pekerjaanyang bisa kukerjakan dengan dua tanganku. Aku miris,menghadapi kenyataan. Menyaksikan anakku yang tumbuhremaja dan aku tahu dia ingin menikmati dunianya. Tapikeadaanku mengurungnya dalam segala kekurangan. Tapiaku harus kuat. Aku harus tabah untuk mengajari Kamilahidup tegar.10 tahun yang lalu,Aku sedih, semua tetangga sering mengejek kecacatanku.Dan Kamila hanya sanggup berlari ke dalam rumah lalusembunyi di dalam kamar. Dia sering jadi bulan-bulananhinaan teman sebayanya. Anakku cantik, seperti ibunya."Biar cantik kalo kere ya kelaut aje." Mungkin itukata-kata yang sering kudengar. Tapi anakku memangsabar dia tidak marah walau tak urung menangis juga."Sabar ya, Nak!" hiburku."Pak, Iya pake jilbab aja ya, biar tidak diganggu!"pintanya padaku. Dan aku menangis. Anakku maafkanbapakmu, hanya itu suara yang sanggup kupendam dalamhatiku. Sejak hari itu, anakku tak pernah lepas darikerudungnya. Dan aku bahagia. Anakku, ternyata kamusudah semakin dewasa. Dia selalu tersenyum padaku. Diatidak pernah menunjukkan kekecewaannya padaku karenasekolahnya hanya terlambat di bangku SMP.7 tahun yang lalu,Aku merenung seharian. Ingatanku tentang Kania,istriku, kembali menemui pikiranku. Sudahbertahun-tahun tak kudengar kabarnya. Aku tak mungkinbohong pada diriku sendiri, jika aku masih menyimpanrindu untuknya. Dan itu pula yang membuat aku takut.Semalam Kamila bilang dia ingin menjadi TKI keMalaysia. Sulit baginya mencari pekerjaan di sini yangcuma lulusan SMP. Haruskah aku melepasnya karenaalasan ekonomi. Dia bilang aku sudah tua, tenagakumulai habis dan dia ingin agar aku beristirahat. Diaberjanji akan rajin mengirimi aku uang dan menabunguntuk modal. Setelah itu dia akan pulang, menemanikukembali dan membuka usaha kecil-kecilan. Sepertiwaktu lalu, kali ini pun aku tak kuasa untukmenghalanginya. Aku hanya berdoa agar Kamilakubaik-baik saja.4 tahun lalu,Kamila tak pernah telat mengirimi aku uang. Hampirtiga tahun dia di sana. Dia bekerja sebagai seorangpelayan di rumah seorang nyonya. Tapi Kamila tidaksuka dengan laki-laki yang disebutnya datuk. Matanyatak pernah siratkan sinar baik. Dia juga dikenal sukaperempuan. Dan nyonya itu adalah istri mudanya yangkeempat. Dia bilang dia sudah ingin pulang. Karenaakhir-akhir ini dia sering diganggu. Lebaran tahun inidia akan berhenti bekerja. Itu yang kubaca darisuratnya. Aku senang mengetahui itu dan selalumenunggu hingga masa itu tiba. Kamila bilang, akujangan pernah lupa salat dan kalau kondisiku sedangbaik usahakan untuk salat tahajjud. Tak perlumemaksakan untuk puasa sunnah yang pasti setiap bulanRamadhan aku harus berusaha sebisa mungkin untuk kuathingga beduk manghrib berbunyi. Kini anakku lebihpandai menasihati daripada aku. Dan aku bangga.3 tahun 6 bulan yang lalu,Inikah badai? Aku mendapat surat dari kepolisianpemerintahan Malaysia, kabarnya anakku ditahan. Dandia diancam hukuman mati, karena dia terbukti membunuhsuami majikannya. Sesak dadaku mendapat kabar ini. Akumenangis, aku tak percaya. Kamilaku yang lemah lembuttak mungkin membunuh. Lagipula kenapa dia harusmembunuh. Aku meminta bantuan hukum dari Indonesiauntuk menyelamatkan anakku dari maut. Hampir setahunaku gelisah menunggu kasus anakku selesai. Tenagatuaku terkuras dan airmataku habis. Aku hanya bisamemohon agar anakku tidak dihukum mati andai diamemang bersalah.2 tahun 6 bulan yang lalu,Akhirnya putusan itu jatuh juga, anakku terbuktibersalah. Dan dia harus menjalani hukuman gantungsebagai balasannya. Aku tidak bisa apa-apa selainmenangis sejadinya. Andai aku tak izinkan dia pergiapakah nasibnya tak akan seburuk ini? Andai aku takbelikan ia bola apakah keadaanku pasti lebih baik? Akukini benar-benar sendiri. Wahai Allah kuatkan aku.Atas permintaan anakku aku dijemput terbang keMalaysia. Anakku ingin aku ada di sisinya disaatterakhirnya. Lihatlah, dia kurus sekali. Dua matanyasembab dan bengkak. Ingin rasanya aku berlari tapi apadaya kakiku tak ada. Aku masuk ke dalam ruanganpertemuan itu, dia berhambur ke arahku, memelukkuerat, seakan tak ingin melepaskan aku."Bapak, Iya Takut!" aku memeluknya lebih erat lagi.Andai bisa ditukar, aku ingin menggantikannya."Kenapa, Ya, kenapa kamu membunuhnya sayang?""Lelaki tua itu ingin Iya tidur dengannya, Pak. Iyatidak mau. Iya dipukulnya. Iya takut, Iya dorong dandia jatuh dari jendela kamar. Dan dia mati. Iya tidaksalah kan, Pak!" Aku perih mendengar itu. Aku ibadengan nasib anakku. Masa mudanya hilang begitu saja.Tapi aku bisa apa, istri keempat lelaki tua itumenuntut agar anakku dihukum mati. Dia kaya dan lelakiitu juga orang terhormat. Aku sudah berusaha untukmemohon keringanan bagi anakku, tapi menemuiku pun iatidak mau. Sia-sia aku tinggal di Malaysia selama enambulan untuk memohon hukuman pada wanita itu.2 tahun yang lalu,Hari ini, anakku akan dihukum gantung. Dan wanita ituakan hadir melihatnya. Aku mendengar dari petugas jikadia sudah datang dan ada di belakangku. Tapi aku takingin melihatnya. Aku melihat isyarat tangan darihakim di sana. Petugas itu membuka papan yang diinjakanakku. Dan 'blass" Kamilaku kini tergantung. Aku takbisa lagi menangis. Setelah yakin sudah mati, jenazahanakku diturunkan mereka, aku mendengar langkah kakimenuju jenazah anakku. Dia menyibak kain penutupnyadan tersenyum sinis. Aku mendongakkan kepalaku, dandengan mataku yang samar oleh air mata aku melihatgaris wajah yang kukenal."Kania?""Mas Har, kau . !""Kau ... kau bunuh anakmu sendiri, Kania!""Iya? Dia..dia . Iya?" serunya getir menunjuk jenazahanakku."Ya, dia Iya kita. Iya yang ingin jadi pemain bolajika sudah besar.""Tidak ... tidaaak ... " Kania berlari ke arah jenazah anakku.Diguncang tubuh kaku itu sambil menjerit histeris.Seorang petugas menghampiri Kania dan memberikansecarik kertas yang tergenggam di tangannya waktu diaditurunkan dari tiang gantungan. Bunyinya "Terimakasih Mama." Aku baru sadar, kalau dari dulu Kamilasudah tahu wanita itu ibunya.Setahun lalu,Sejak saat itu istriku gila. Tapi apakah dia masihistriku. Yang aku tahu, aku belum pernahmenceraikannya. Terakhir kudengar kabarnya dia matibunuh diri. Dia ingin dikuburkan di samping kuburananakku, Kamila. Kata pembantu yang mengantarkanjenazahnya padaku, dia sering berteriak, "Iyasayaaang, apalagi yang pecah, Nak." Kamu tahu Kania,kali ini yang pecah adalah hatiku. Mungkin orang tuakita memang benar, tak seharusnya kita menikah. Agartak ada kesengsaraan untuk Kamila anak kita. Benarkahbegitu Iya sayang? (TRUE STORY)

No comments: